Lipombo atau tradisi pemanjangan kepala dilakukan oleh suku Mangbetu sejak mereka masih bayi. Suku Mangbetu akan membungkus kepala bayi-bayi mereka dengan ikatan kain yang sangat erat.
Biasanya, proses ini berlangsung hingga enam bulan lamanya. Namun, tidak berarti tradisi Lipombo berhenti saat orang-orang Mangbetu telah dewasa. Tidak jarang suku Mangbetu mengikat kepala mereka hingga bertahun-tahun, bahkan seumur hidup.
Bagi kepercayaan suku Mabgngbetu, mendapatkan bentuk kepala melonjong seperti alien adalah simbol seni, kekuatan, kekuasaan, hingga kepintaran. Melonjongkan kepala dilakukan oleh pria dan wanita. Namun kebanyakan, hal ini dilakukan oleh para wanita.
Para wanita dengan kepala yang lonjong, akan lebih menarik di mata para pria suku Mangbetu. Rambut para wanita yang keriting, kemudian akan dihias sedemikian rupa agar terlihat lebih cantik. Bahkan konon kabarnya, semakin lonjong kepala wanita, artinya semakin bertambah lagi nilai kecantikannya.
Namun pada tahun 1950an, tradisi Lipombo pun lambat laun menghilang lantaran tergerus oleh budaya barat dari para penjelajah Eropa. Tidak hanya itu, pemerintah Kongo pun saat itu juga diketahui melarang tradisi tersebut.
Walau seperti itu, suku Mangbetu ada yang masih tetap mempertahankan tradisi Lipombo ini. Dari informasi para peneliti, Lipombo sudah berlangsung jauh sebelum abad ke-17. Membentuk kepala yang lonjong, juga dinilai tidak mempengaruhi fungsi otak.
Beberapa jenazah dengan tengkorak yang lonjong ditemukan di Australia dan Meksiko. Tidak heran bila kemudian banyak orang mengaitkan tengkorak berbentuk lonjong yang ditemukan ini sebagai tengkorak alien.
Selain itu, Budaya unik lain dari suku Mangbetu yang berhasil menarik perhatian para penjelajah adalah praktik kanibalisme yang sempat dilakukan oleh para suku Mangbetu kuno. Budaya kanibalisme ini pun sempat disampaikan oleh salah satu sejarawan ternama asal Amerika Serikat (AS), David Levering Lewis.
Dalam penelitiannya, Lewis menyebutkan bahwa Mangbetu adalah salah satu suku yang sempat mempraktikkan kanibalisme pada sekitar tahun 1880an. Lebih lanjut, Lewis mengemukakan bahwa aksi kanibalisme suku Mangbetu kala itu dipicu lantaran adanya krisis politik akibat serangan suku Swahili.
Menurut para sejarawan, suku Mangbetu juga menganut sistem kepercayaan tentang Dewa Pencipta semesta yang dikenal dengan istilah Kilima atau Noro . Sementara, Ara dianggap sebagai dewa yang mengatur air serta dikenal mempunyai wujud seperti hewan yang menakutkan. Menariknya, kelompok Mangbetu juga percaya bahwa jiwa-jiwa manusia yang sudah mati bisa dilahirkan kembali menjadi seekor binatang.
Mereka juga mempercayai tentang arwah jahat Likundu. Bagi mereka, Likundu ini kerap memberikan kemalangan serta sakit bagi orang yang mengabaikan mereka atau tidak memberikan mereka persembahan. Oleh para sejarawan, Likundu yang merasuki individu ini sering diasosiasikan sebagai penyihir. Inilah mengapa suku Mangbetu membuat banyak dekorasi nenek moyang atau Tuhan mereka untuk mengusir efek roh jahat atau sihir.
No comments:
Post a Comment
Komentar yang bermutu Insyaallah akan mendapatkan berkah