Itu berawal dari gagasan pemerintahan belanda untuk meningkatkan penerimaan negara dan kemudian mereka membuka instansi jasa tanam paksa. Saat itu komoditi yang paling besar dikembangkan adalah gula.
Hingga pada tahun 1870 muncul Undang-Undang Gula (Suikerwet) dan UU Agraria (Agrarisch Wet). di mana investor bisa mengusahakan tanaman gula bekerja sama dengan masyarakat dengan sistem kelembagaan.
Salah satu pabrik gula yang paling terkenal adalah Pabrik Gula Cepiring. Pabrik yang berada di Kendal, Jawa Tengah ini merupakan peninggalan Hindia Belanda yang dibangun pada tahun 1835, dikelola oleh swasta N. V. tot Exploitatie der Kendalsche Suikerfabrieken, setelah sebelumnya pengelolaan ada pada Hindia Belanda.
Sejarah mencatat bahwa industri gula Indonesia pernah mengalami masa kejayaan dengan puncak produksi yang terjadi pada awal tahun 1930 sebesar hampir 3 juta ton, dengan jumlah pabrik gula (PG) sebanyak 179 PG, dan luas area berkisar 196 592 Ha.
Serta tingkat produktivitas mencapai 14,79 ton/ha yang menempatkan Indonesia menjadi Negara pengekspor kedua di dunia setelah Kuba pada saat itu. Akan tetapi, setelah era tersebut industri gula Indonesia terus mengalami kemunduran.
Harga gula di pasar internasional yang terus menurun dan mencapai titik terendah pada tahun 1999 juga menjadi penyebab kemunduran industri gula Indonesia.
Penurunan harga gula ini terutama disebabkan oleh hampir semua negara produsen utama dan konsumen utama melakukan intervensi yang besar terhadap industri dan perdagangan gula .
Sebagai contoh Jepang menerapkan tarif impor sangat tinggi, yaitu lebih dari 100 persen sedangkan Indonesia hanya didukung oleh kebijakan tarif impor sebesar 25 persen.
Dari 59 jumlah pabrik gula yang ada di Indonesia, sekitar 80 persen di antaranya berada di Jawa dan sisanya berada di luar pulau Jawa (Sumatera dan Sulawesi).
Sedangkan dari 47 jumlah pabrik gula yang ada di pulau Jawa, sekitar 70 persennya berada di Jawa Timur dengan luas areal tanam tebu mencapai 172 942 hektar.
Sebelum abad ke-15 masyarakat Indonesia belum mengenal gula ,hingga bangsa Cina datang ke Nusantara dan memperkenalkan metode pengolahan tebu menjadi gula secara tradisional kepada masyarakat Jawa.
Kemajuan peningkatan produksi tebu oleh Tionghoa menarik perhatian persekutuan dagang dari Belanda, Vereeningde Oost-Indische Compagnie (VOC), yang dikenal dengan sebutan Kompeni, yang berlabuh di Banten pada 1596.
VOC menilai Banten kurang strategis dan aman. Gubernur Jenderal Kompeni Pieter Booth memindahkan markas dagangnya ke Jayakarta atau Jakarta. Daerah inilah yang selanjutnya diberi nama Batavia, sesuai dengan nama etnik asli Belanda, Bataaf.
Batavia makin ramai dan menjadi bandar besar di Asia Tenggara. Akibatnya, makin banyak warga Tionghoa yang bermigrasi ke Jawa. Warga yang baru datang ini meniru bisnis rekannya, salah satunya gula.
Maraknya perdagangan gula membuat VOC mengekspor komoditas ini ke Eropa. Awalnya, tujuan utama VOC hanya berdagang rempah-rempah. Pada 1637, VOC berhasil mengekspor 10 ribu pikul atau setara dengan 625 ribu kilogram gula per tahun. Gula ini dibeli dari warga Tionghoa.
Akibat monopoli dagang yang di lakukan VOC,membuat warga tionghoa enggan bekerjasama lagi untuk memproduksi gula, sehingga perdagangannya bertambah lesu.
Kemudian pada tahun 1799 VOC dinyatakan bangkrut oleh kerajaan Belanda akibat praktik korupsi yang menjalar tumbuh subur. Untuk menggantikan VOC yang bangkrut ini, kemudian kerajaan belanda membentuk pemerintahan Hindia-Belanda .
Kendala pertama VOC adalah akibat dari perang Jawa atau perang Diponegoro membuat keuangan Pemerintahan Hindia-Belanda terganganggu ,Untuk mengatasi kas negara yang defisit, Gubernur Jenderal Johanes van den Bosch mengeluarkan kebijakan tanam paksa atau cultuurstelsel.
Dalam kebijakan itu hasilnya Dalam tempo 10 tahun, volume ekspor gula meningkat dari 6.710 ton pada 1830 menjadi 61.750 ton pada 1840. Tiga puluh tahun kemudian, jumlah ekspor gula meningkat lebih dari 100 persen menjadi 146.670 ton.
Selain tanam paksa, keberhasilan ini didukung oleh mesin penggiling tebu dan pembangunan infrastruktur perdagangan gula milik perusahaan dagang dari Belanda, Nederlandsche Handel Maatchappij.
Kewajiban rakyat membayar pajak dalam sistem tanam paksa ini jelas sangat menguntungkan Belanda yang berhasil menutup defisit dan meningkatkan kemakmuran bangsanya.
Bagi Belanda sistem ini telah memberi keuntungan yang besar karena meningkatnya tanaman ekspor, seperti gula, kopi, teh kopra dan kina. Keuntunganya berkisar 151 juta gulden pada tahun 1877.
Mulai tahun 1870 ,swasta mendapatkan izin untuk memproduksi gula. Dua perusahaan swasta terbesar kala itu adalah Oei Tiong Ham Concern di Semarang dan milik Kanjeng Gusti Adipati Aryo Mangkunegara IV di Surakarta. Lantaran liberalisasi, Hindia-Belanda tercatat sebagai eksportir gula kedua setelah Kuba.
Menurut JB Kristanto, dalam 1000 Tahun Nusantara (2000), Pakubuwono X dari Kasunanan Surakarta adalah yang terkaya di antara raja-raja.Buku Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Republik (2008) juga mencatatnya sebagai pemilik mobil pertama di Indonesia.
Sedangkan Oei Tiong Ham Concern ini dikenal raja dalam perdagangan opium legal dan bisnis gula. Ia bahkan dijuluki "Raja Gula Asia". Ketika meninggal dunia karena serangan jantung pada 1924, konglomerat Tionghoa ini meninggalkan uang sebesar 200 juta gulden.
Untuk mengelola bekas aset-aset milik Oei Tiong Ham di Indonesia, pemerintah Indonesia mendirikan BUMN bernama Rajawali Nusantara Indonesia, yang mengelola pelbagai hasil bumi termasuk gula.
Meskipun industri gula banyak meraih kesuksesan itu bukan berarti tanpa hambatan. Adanya serangan penyakit membuat pemerintah membangun lembaga riset gula bernama Proefstation Oost Java, yang kini dikenal dengan nama Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia.
Wilayah ini kemudian dikenal dengan dengan nama Oosthoek, yang meliputi Pasuruan, Probolinggo, Situbondo, Besuki (Jember ditambah Bondowoso), Lumajang, dan Banyuwangi.
Saat Inggris menduduki Jawa pada 1811-1815, modernisasi industri gula dilakukan di tanah Jawa,Tapi, sayang, modernisasi itu gagal kecuali di kawasan Oosthoek.
Sumber :
https://tirto.id/swastanisasi-gula-meliberalkan-jawa-cmhe
https://m.mediaindonesia.com/ekonomi/334204/indonesia-pernah-jadi-produsen-gula-terbesar-di-dunia
http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbjateng/menuju-kejayaan-gula-di-hindia-belanda/