AdityaDees: Ragam Budaya

Hot

https://publishers.chitika.com/

Contact us for advertising.
Showing posts with label Ragam Budaya. Show all posts
Showing posts with label Ragam Budaya. Show all posts

18 August 2021

Ask Keunikan Suku Asli Indonesia, Suku Cia-Cia menggunakan Abjad Korea AdityaDees

18:26 0
Indonesia merupakan negara yang di kenal memiliki beragam suku dan budaya, termasuk ragam bahasa daerahnya. Di Kepulauan Buton, Sulawesi Tenggara tepatnya di kota Bau-bau ada bahasa daerah yang unik. Di sini para warga kampung, dari anak kecil hingga dewasa, sudah pintar menulis dengan abjad Korea yang disebut aksara Hangeul.

Huruf ini sering digunakan sebagai petunjuk tempat umum ,nama jalan atau plang sekolahan, dengan di tulis nama resmi bahasa Indonesia dengan aksara Latin,serta di kombinasikan dengan tulisan abjad Korea.

Buton terkenal dengan sejarahnya sebagai pusat penyebaran agama Islam. Mungkin harusnya aksara dengan arab gundul yang tepat di gunakan bahasa suku Cia-Cia. Namun stetapi, penggunaan arab gundul dirasa kurang tepat karena ketika bahasa Cia-Cia dituliskan dengan arab gundul, maknanya jadi berubah.

Mata pencaharian Suku Cia-Cia adalah bercocok tanam ,seperti jagung, padi dan singkong. Sebagian juga penduduk Cia-Cia bekerja sebagai pencari ikan atau pembuat kapal. seluruh jumlah penduduk Cia-Cia sekitar 80 ribu jiwa.

Suku Cia-cia pernah menjadi sorotan berita di Korea karena menggunakan huruf hangul dalam buku pelajarannya.


Aksara korea masuk dan berkembang di Cia-Cia sejak Tahun 2008,saat seorang pemakalah asal Korea, Prof Chun Thay Hyun datang. Aksara ini diajarkan kepada anak sekolah ,mulai dari tingkat SD hingga SMA.

Alasan suku Cia Cia menggunakan aksara Hangul karena untuk melestarikan bahasa daerahnya, karena aksara hungeul dinilai ada kesamaan dalam pelafalan dan struktur bahasa dengan Korea.

Dalam postingan Korea Times sendiri menyebutkan jika penggunaan Hangul Korea untuk memberikan kemudahan kepada para masyarakat suku Cia-cia dalam berkomunikasi lewat tulisan, pasalnya pengucapan bahasa Cia-cia sangat mirip dengan Korea.

Kemudian Pemkot Bau-Bau bekerja sama dengan Masyarakat Pernaskahan Nusantara dan menggelar Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara.

Pemerintah Kota Bau-Bau juga bekerja sama dengan Hunminjeongeum Research Institute, lembaga riset bahasa Korea, untuk menyusun bahan ajar kurikulum muatan lokal mengenai bahasa Cia Cia dengan huruf Korea pada anak sekolah.

Beberapa siswa, guru, serta masyarakat suku Cia Cia, dan pihak Pemkot Bau-Bau pernah diundang ke Korea untuk menunjukan kemampuan menulis huruf Hangul untuk bahasa Cia-Cia. Bahkan, beberapa guru dari Korea juga pernah didatangkan langsung ke Bau-Bau untuk mengajarkan huruf Hangul.

Sebelum mengenai hangeul, bahasa Cia-cia merupakan salah satu bahasa lokal atau bahasa etnik yang ada di Indonesia. Bahasa ini dituturkan oleh etnis-etnis Cia-cia yang sebagian besar tinggal di kecamatan Sorawalio Kota Bau-Bau.

Etnis Cia-cia merupakan salah satu etnis besar di Buton. Penutur bahasa Cia-cia berasal dari empat subetnis, yaitu :

  • Laporo
  • Burangasi
  • Wabula
  • dan Lapandewa


Pengambilan kebijakan pemerintah tentang penggunaan aksara Hangeul di Cia-cia menjadikan bahasa lokal mereka terancam punah. Meski keputusan itu berdasarkan beberapa aspek yang menguntungkan masyarakat.

Namun, nilai-nilai kebudayaan di Cia-cia akan terkikiss dengan masuknya budaya luar ke daerah tersebut. Secara logis tentu masyarakat Cia-cia mampu berkiprah di ranah internasional dengan menggunkan bahasa Hangeul.

Sehingga tercipta jalinan komunikasi antar budaya. Sayangnya hal itu akan berdampak negatif pada generasi berikutnya, di mana mereka tidak akan mengenal bahasa nenek moyang mereka.

Read More

10 August 2021

Ask Berbagai Tradisi di Indonesia yang bertepatan Tahun Baru Islam AdityaDees

14:14 0
Tahun Baru 1443 Hijriah kali ini jatuh pada tanggal 10 Agustus 2021. Bagi sebagian umat islam di Indonesia, momen ini tak hanya dijadikan momen sakral dengan berdoa, namun juga berbagai tradisi.

Berbagai tradisi perayaan Tahun Baru Hijriah biasanya dilakukkan sudah turun-temurun antar generasi. Lalu apa saja tradisi di Indonesia untuk menyambut Tahun Baru Hijriyah tersebut.

1. Kirab Muharram


Kirab Muharram di lakukan oleh keraton Surakarta untuk menyambut Tahun Baru Islam. Tradisi ini merupakan ritual yang dilakukan oleh Keraton Surakarta dengan menghadirkan kerbau bule atau kerbau putih milik Kiai Slamet. Kerbau Bule merupakan hewan kesayangan Susuhunan yang dianggap keramat.

2. Ritual Gunung Merapi


Warga Desa Lencoh, Kecamatan Selo, Boyolali, Jawa Tengah, punya tradisi Sedekah Gunung Merapi tiap 1 Muharram/Suro.Tradisi dilakukan dengan melarung kepala kerbau di wilayah puncak gunung yang biasanya diikuti banyak orang.

3.Ritual Gunung Lawu


Pada malam 1 Suro, masyarakat sekitar Gunung Lawu memiliki tradisi sendiri yakni mendaki Gunung Lawu lewat berbagai jalur yang tersedia. Tradisi ini tak hanya diikuti masyarakat sekitar saja. Biasanya para pendaki khusus datang ke Gunung Lawu pada Tahun Baru Hijriah.

4. Tradisi Ngadulang


Ngadulang merupakan salah satu acara yang diselenggarakan oleh pemerintah Sukabumi untuk merayakan tahun baru Islam. Di tahun baru Islam, ada perlombaan menabuh bedug yang menarik dan wajib diikuti.

5. Bubur Asyura


Di Kalimantan, ada makanan khas yang adanya hanya di tahun baru Islam yaitu bubur asyura. Bubur ini terbuat dari beras yang dimasak lama dengan santan dan dicampur dengan berbagai macam sayur-sayuran.

Untuk membuat bubur Asyura diperlukan sembilan bahan pokok utama. Mulai dari beras, jagung, ketela pohon, ubi jalar, kacang hijau, kacang tolo, kacang tanah, kacang kedelai hingga ketela pohon atau singkong.

6. Mubeng beteng


Tradisi ini merupakan simbol refleksi dan instropeksi diri orang Jawa pada malam 1 Suro Tahun Baru yang dirayakan di Yogyakarta. Islam yang dilakukan oleh ratusan abdi dalem mengelilingi Keraton Yogyakarta dan diikuti oleh warga.

Selama mengelilingi keraton, mereka harus melakukan tapa bisu (tidak berbicara atau bersuara) serta tidak makan, minum, atau merokok dan jarak yang ditempuh kurang lebih lima kilometer.

7. Upacara Tabot


Dirayakan oleh masyarakat Bengkulu, untuk mengenang kepahlawanan serta meninggalnya cucu Nabi Muhammad SAW, Husein bin Ali Abu Thalib. Upacara ini terpengaruhi oleh upacara Karbala di Iran.

Perayaan Tahun Baru Islam ini telah dilakukan sejak tahun 1685 oleh Syeh Burhanuddin yang dikenal juga sebagai Imam Senggolo.Masyarakat percaya, apabila perayaan Tahun Baru Islam ini tidak mereka selenggarakan maka musibah dan malapetaka akan menimpa mereka.

8. Ledung Suro


Merupakan tradisi yang dilakukan warga Magetan, Jawa Timur. Masyakarat menggelar tradisi Ledug Suro dengan ‘ngalub berkah bolu rahayu’. Upacara ini diawali dengan kirab Nayoko Projo dan Bolu Rahayu yang nantinya menjadi sasaran rebutan warga. Warga mempercayai, bolu tahayu dapat membawa keberuntungan dan berkah.

9. Nganggung


Tradisi ini dirayakan oleh umat muslim di Bangka Belitung. ‘Nganggung’ dalam bahasa daerah warga setempat berarti makan bersama. Warga akan mengelar acara dimana mereka akan makan bersama-sama. Layaknya perayaan Idul Fitri dan Idul Adha, kebersamaan diangkat menjadi tradisi Tahun Baru Islam.

Warga dari seluruh penjuru Bangka berdatangan untuk bersilaturahmi sekaligus bertamu ke rumah-rumah warga. Bagi tuan rumah semakin banyak tamu yang datang maka rizki yang diperoleh akan semakin banyak. Makanan layaknya peryaan Idul Fitri disediakan untuk menjamu tamu yang datang.

10. Barik'an


Merupakan tradisi yang dilakukan Jawa Tengah. Pada dasarnya, Tradisi Barik'an adalah acara kenduri bersama.Masyakarat akan membawa lauk pauk dari rumah dan setelah itu di doakan bersama.Makanan yang telah didoakan akan dimakan bersama-sama. Bertukar lauk pauk menjadi ajang yang wajib saat perayaan ini.

Sumber :

Detik.comKompas.com

Read More

04 August 2021

Ask Tradisi unik tidur di atas pasir masyarakat Sumenep ,Madura AdityaDees

16:48 0
Madura memang terkenal dan identik dengan tradisi karapan sapi nya atau makanan khasnya sate, namun tetapi ,tahukah anda ? bahwa ada tradisi unik lainya yang di lakukan masyarakat madura yaitu tidur di atas pasir .

Tradisi demikian bisa di temukan ketika kita berkunjung ke Desa Legung Timur, Kecamatan Batang-Batang, Kabupaten Sumenep, Madura. Menurut masyrakat tradisi tidur di atas pasir ini sudah berlangsung dari antar generasi dan di percaya memiliki manfaat untuk kesehatan.

Salah satu manfaat tersebut adalah efek relaksasi sekaligus menyembuhkan penyakit, seperti gatal di kulit hingga keluhan nyeri punggung sampai rematik.

Pasir yang digunakan juga bukan pasir sembarangan, pasir ini berasal dari Pantai Lombang. dengan warna putih kecoklatan dan tidak berbau, selain itu teksturnya juga sangat halus dan lembut.

Warga biasanya memilah pasir yang ada di bawah pohon cemara. Sebelum digunakan, pasir diayak dulu menggunakan alat penyaring. Hal ini demi menghilangkan material lain seperti kerikil kecil, sisa cangkang hewan laut, atau kotoran yang menempel.

Berbeda dengan masyarakat modern yang memilih rumah dengan tempat tidur nyaman, bersih dan lembut, masyarakat Desa Legung lebih dikenal dengan nama kampung pasir karena tradisi uniknya tidur di atas pasir.

Setiap rumah warga umumnya memiliki satu kamar atau lebih dengan fasilitas kasur pasir, yang menurut mereka dapat menyejukkan sekaligus bisa menghangatkan.

Pememanfaatan kasur pasir sebagai tempat tidur, tidak hanya mereka yang kelas ekonomi menengah ke bawah, melainkan warga yang sudah mempunyai kemampuan lebih, juga masih tetap tidur di atas pasir.

Sensasi tidur di atas pasir ini sangatlah unik dan berpotensi untuk menjadi destinasi wisata yang menarik.

Read More

01 June 2021

Ask Upacara Yandnya Kasada tradisi ritual masyarakat tengger AdityaDees

03:05 0
Yadnya Kasada atau dikenal juga dengan sebutan Kasada Bromo merupakan ritual tradisi Hindu masyarakat tengger. Biasanya ritual digelar oleh orang-orang Tengger dari empat kabupaten di Jawa Timur : Pasuruan, Malang, Lumajang, dan Probolinggo.

Ritual Kasada diadakan tiap tahun sekali pada hari ke-14 dalam bulan Kasada .Berkumpul di Pura Luhur Poten untuk memohon berkah dari Ida Sang Hyang Widi Wasa dan Dewa Mahameru ( Gunung Semeru ). Candi terdiri dari beberapa bangunan dan kandang yang disusun dalam susunan komposisi di halaman yang dibagi menjadi tiga mandala (zona), Mandala Utama , Mandala Madya dan Mandala Nista .

Ritual tersebut berfungsi sebagai cara untuk mengungkapkan penghargaan kepada dewa mereka, yang mereka yakini telah memberi mereka berkah, kelimpahan, dan kesejahteraan.

Titik awal prosesi Yadnya Kasada adalah Pendopo Agung Desa Ngadisari. Sesaji mulai dibagikan ke Pura Luhur Poten di tanah pasir yang dikenal sebagai Poten , tepat di bawah Gunung Bromo. Setelah ritual tersebut, para dukun pandita suku Tengger, tokoh masyarakat setempat, dan masyarakat Tengger berkumpul dan berdoa untuk keselamatan dan kesejahteraan mereka.

Dari kaki Gunung Bromo, orang-orang Tengger berjalan kaki membawa berbagai sesajian menuju kawah.Sambil berjalan mereka juga melampar sesajian berupa buah buahan, sayuran, hewan ternak, dan hasil bumi lainnya ke kawah sebagai Simbol pengabdian pada Sang Hyang Widhi, pengorbanan, penyucian diri, rasa syukur, penjagaan hubungan harmonis dengan alam, dan penghormatan pada leluhur mereka.

Selain ritual pelemparan hasil bumi dan ternak ke kawah, upacara Yadnya Kasada juga menampilkan ragam pertunjukan. Sebelum upacara dimulai, diselenggarkaan malam resepsi Yadnya Kasada dengan pementasan tari Sembilan Dewa serta tari Roro Anteng dan Joko Seger.

Tarian yang dianggap sakral oleh masyarakat Tengger ini mengisahkan legenda asal usul masyarakat Tengger. Ada pula pertunjukan tari tradisional lainnya. Tahun lalu pentas pula tari Jaranan Slinig Lumajang, tari Ponorogo, tari Hudoq Dayak dari Kalimantan Timur dan lain-lain.

Festival ini berasal dari legenda Majapahit, pada masa pemerintahan Raja Brawijaya. Menurut versi legenda menyatakan Tengger berasal dari gabungan nama dua leluhur mereka: Rara Anteng (Teng), putri raja Brawijaya, dan Joko Seger (Ger), putra seorang Brahmana Kediri. Keduanya menikah dan hidup di sekitar wilayah Penanjakan, tak jauh dari Gunung Bromo. Tapi mereka tak punya anak untuk waktu lama. Hingga akhirnya mereka berdoa kepada Sang Hyang Widhi Wasa.

Rara Anteng dan Joko Seger berjanji jika punya anak, salah satu anaknya akan dikorbankan. Tak lama kemudian, Rara Anteng hamil dan melahirkan. Anak mereka berjumlah 25. Setelah lahir, salah seorang anak mereka, Raden Kusuma, menghilang. Mereka kemudian mendengar suara Raden Kusuma keluar dari kawah Gunung Bromo.

Penafasiran makna “memberi korban” adalah merujuk pada mendermakan sebagian hasil panen dan ternak ke kawah Bromo. Inilah asal muasal upacara Kasada. Versi legenda ini juga sejalan dengan versi sejarah. Menurut beberapa prasasti yang di temukan di sekitar pegunungan Bromo dan Negarakertagama, orang Tengger juga disebut telah bermukim di kawasan Tengger sejak masa Majapahit

Ritual adat Yadnya Kasada bertahan dan diwariskan dari lintas generasi . Makna ritualnya tetap terjaga pula. Beberapa pengamat asing mencatat jalannya upacara ini pada rentang abad ke-19-20.

Read More

29 May 2021

Ask Upacara Tiwah suku Dayak Kalimantan tengah AdityaDees

17:58 0
Mengupas budaya Indonesia memang tidak akan ada habisnya, Negeri ini memang terlalu kaya dengan ragam budayanya, terbentang luas dari Sabang hingga Merauke yang memiliki ribuan suku dengan masing-masing ritual adatnya. Kelahiran, pernikahan, hingga kematian dirayakan dengan cara yang berbeda. Inilah yang membuat Indonesia kaya akan budaya. Salah satunya masyarakat kalimantan Tengah dengan Ritual adatnya yaitu Tiwah.

Ritual Tiwah merupakan upacara ritual kematian tingkat akhir bagi masyarakat suku Dayak di Kalimantan Tengah (Kalteng), khususnya Dayak Pedalaman penganut agama Kaharingan sebagai agama leluhur warga Dayak. Ritual ini merupakan Prosesi mengantarkan roh leluhur yang telah meninggal dunia ke lewu tatau (surga) bersama Ranying Hatalla (Sang Pencipta). Jenazah yang sudah dikubur akan digali lagi, tulang belulangnya dibersihkan, kemudian dimasukkan ke dalam balai nyahu.

Ritual juga dimaksudkan oleh masyarakat di Kalteng sebagai prosesi suku Dayak untuk melepas Rutas atau kesialan bagi keluarga Almarhum yang ditinggalkan dari pengaruh-pengaruh buruk yang menimpa.

Diperlukan persiapan panjang dan cukup rumit serta pendanaan yang tidak sedikit. Selain itu, rangkaian upacara prosesi Tiwah ini sendiri memakan waktu hingga berhari-hari , bahkan bisa sampai satu bulan lebih lamanya.

Terkadang besarnya biaya yang dikeluarkan untuk pelaksanaan Tiwah menjadi salah satu kendala bagi penduduk yang tingkat ekonominya rendah. Sehingga Tiwah baru dilakukan bertahun-tahun kemudian. Untuk memperingan biaya, Tiwah juga bisa dilakukan secara gotong royong oleh beberapa keluarga bahkan hingga satu desa.

Tiwah memiliki beberapa tahapan. Di antaranya, pertama keluarga harus mendirikan balai nyahu yang pembangunanya harus selesai dalam satu hari. Balai nyahu inimenjadi tempat sementara tulang-tulang yang telah dibersihkan. Selanjutnya, keluarga harus membuat anjung-anjung (bendera kain) sejumlah jenazah yang di Tiwahkan.

Setelah itu, tulang belulang jenazah akan dimasukan ke balai nyahu. Proses ini diyakini sebagai awal mula roh diantarkan ke Lewu Liau. Pada saat proses ini berlangsung, tabuh-tabuhan alat musik akan didendangkan secara terus-menerus.

Selanjutnya, keluarga melakukan tarian sakral Manganjan sambil mengelilingi sangkai raya (tempat anjung-anjung dan persembahan) dan sapundu (patung yang dipahat berbentuk manusia dan digunakan sebagai tempat mengikat kurban). Keluarga akan menari dengan riang gembira karena roh keluarga mereka akhirnya bisa diantarkan ke Lewu Liau.

Setelah Manganjan selesai, dimulailah acara menombak hewan kurban, seperti kerbau, dapi, dan babi, yang dilakukan oleh keluarga. Masyarakat percaya, cucuran darah dari hewan kurban akan mensucikan roh. Setelah hewan kurban mati, kepalanya lalu dipenggal dan dikubur di bawah sapundu yang diletakkan di samping sandung, sementara dagingnya dimasak dan dimakan bersama-sama.

Ritual Tiwah suku Dayak ini tergolong sebagai ritual yang sangat sakral. Pada ritual ini akan disajikan acara tari-tarian, suara gong maupun hiburan lain. Sampai akhirnya tulang-tulang tersebut di letakkan di tempatnya (Sandung).

Puncak dari upacara ini ketika memasukkan tulang belulang yang disucikan dengan ritual khusus ke dalam Sandung, setelah sebelumnya menggelar acara penombakan para hewan - hewan kurban seperti sapi, kerbau dan babi.

Read More

15 May 2021

Ask Tas Noken dari Bumi Papua yang mendunia AdityaDees

21:58 0
Tanah Papua merupakan bagian wilayah indonesia yang paling timur. Kaya dengan suku ,budaya dan tradisi leluhur yang masih di pertahankan dari lintas generasi hingga saat ini.

Tak hanya itu, Pakaian adat dan attribute yang mereka gunakan juga sangat beragam dan menjadi daya tarik tersendiri . Salah satunya adalah tas Noken , sebuah karya unik dari Masyarakat Papua.

Tas Noken ini sendiri merupakan hasil karya asli buatan tangan mama-mama di Papua. Masyarakat Papua biasanya menggunakan Noken untuk membawa hasil-hasil pertanian seperti sayuran, umbi-umbian dan juga untuk membawa barang-barang dagangan ke pasar. Mayoritas pengguna tas Noken berada di daerah pengunungan Papua tengah, seperti suku Mee/Ekari, Damal, Suku Yali, Dani, Suku Lani dan Bauzi.

Para wanita di Papua sejak kecil sudah harus belajar untuk membuat noken, karena membuat Noken dari dulu hingga saat ini dapat melambangkan kedewasaan si perempuan itu. Karena jika perempuan papua belum bisa membuat Noken dia tidak dianggap dewasa dan itu merupakan syarat untuk menikah.

Bahan utama membuat Noken adalah dari kayu pohon Manduam, pohon Nawa atau Anggrek hutan dan masih banyak lagi jenis pohon yang umum digunakan.Untuk ukuranya bervariasi, Noken yang berukuran besar (disebut Yatoo) dipakai untuk membawa barang seperti kayu bakar, tanaman hasil panen, barang-barang belanjaan, atau bahkan digunakan untuk menggendong anak. yang berukuran sedang (disebut Gapagoo) digunakan untuk membawa barang-barang belanjaan dalam jumlah sedang, dan yang berukuran kecil (disebut mitutee) digunakan untuk membawa barang-barang pribadi.

Variasi pewarnaan pada Noken juga sangat menarik ,karena dibuat dari pewarna alami dan proses pembuatan ini bisa mencapai 1-2 minggu, untuk Noken dengan ukuran besar, bisa mencapai 3 minggu bahkan sampai 2-3 bulan, tergantung prosesnya.

Selain digunakan untuk wadah kebutuhan mereka ,Noken biasanya juga digunakan untuk hadiah atau kenang-kenangan para tamu yang bi baru pertama kali datang ke bumi Papua dan dipakai dalam upacara.

Pada awal Desember 2020 lalu, Noken muncul di halaman interface mesin pencarian Google. Di situ Tampak dua wanita yang berjalan dengan latar gunung dan lingkungan alam . Mereka menggendong bawaan menggunakan tas khas Papua yang membentuk dua huruf ‘o’ sehingga melengkapi kata Google.

Tanggal 4 Desember itu bertepatan dengan diakuinya noken sebagai warisan budaya tak benda (intangible heritage) UNESCO sehingga ditetapkan sebagai Hari Noken Sedunia.

Note :

4 Desember 2012 telah diputuskan sebagai warisan budaya Dunia tak Berbenda oleh UNESCO di Prancis oleh Arley Gill sebagai Ketua Komite, yang bertujuan untuk melindungi dan menggali kebudayaan tersebut.

Read More

13 May 2021

Ask Suku Osing Asli Banyuwangi AdityaDees

21:26 0
Indonesia adalah Negara yang memiliki kekayaan yang sangat luar biasa salah satunya adalah kekayaan budaya dan masyarakat multikultur yang ada hampir di semua kepulauan di Indonesia, termasuk suku osing.

Suku Osing ialah suku asli indonesia, yang merupakan penduduk asli Banyuwangi atau disebut juga dengan Laros (akronim daripada Lare Osing) atau"Wong Blambangan".

Mayoritas penduduk Suku Osing menempati beberapa kecamatan dikabupaten Banyuwangi bagian tengah dan bagian timur, berada di Kecamatan Songgon, Kecamatan Rogojampi, Kecamatan Blimbingsari, Kecamatan Singojuruh, Kecamatan Kabat, Kecamatan Licin, Kecamatan Giri, Kecamatan Glagah dan sebagian berada di Kecamatan Banyuwangi, Kecamatan Kalipuro dan Kecamatan Sempu yang berbaur dengan komunitas suku yang lain seperti Suku Jawa dan Madura. Sebagian juga berada di Kecamatan Srono, Kecamatan Cluring, Kecamatan Gambiran dan Kecamatan Genteng.

Pada awalnya, masyarakat Osing mayoritas beragama Hindu dan Budha. Namun, setelah berkembangnya kerajaan islam, masyarakat Osing banyak yang beralih memeluk agama Islam. Selain itu, di tengah modernisasi dengan perkembangannya yang kian pesat, suku Osing di Desa Adat Kemiren, Banyuwangi, Jawa Timur, berhasil mempertahankan budaya tradisionalnya hingga saat ini.

Dalam berkomunikasi sehari-hari , penduduk suku Osing menggunakan bahasa "Osing". Dulunya bahasa ini di pengaruhi oleh bahasa Bali dan turunan dari bahasa Jawa Kuno. Bahasa Jawa Kuno ini dipergunakan dalam kesusastraan Jawa-Bali yang di tulis sejak abad ke-14, dan terus hidup sampai abad ke-20.

Di kalangan masyarakat Osing, dikenal dua gaya bahasa yang satu sama lain ternyata tidak saling berhubungan. Yakni Cara Osing dan Cara Besiki. Cara Osing adalah gaya bahasa yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari, dan tidak mengenal bentuk Ngoko-Krama seperti layaknya Bahasa Jawa umumnya. Yang menjadi pembedanya adalah pronomina yang disesuaikan dengan kedudukan lawan bicara.

Suku Osing sendiri memiliki beberapa Kesenian yang sangat unik dan banyak mengandung unsur mistik seperti kerabatnya Suku Bali dan Suku Tengger. Kesenian utamanya tersebut antara lain Gandrung Banyuwangi,Patrol, Seblang, Angklung, Tari Barong, Kuntulan, Kendang Kempul, Janger, Jaranan, Jaran Kincak, Angklung Caruk dan Jedor.

Kesenian lain yang masih aktif dipelihara dan di mainkan adalah tembang dolanan, khususnya oleh kalangan anak usia sekolah. Contohnya adalah Jamuran dan Ojo Rame-Rame. Biasanya digunakan untuk mengiringi anak-anak dalm bermain. selain untuk itu ,lagu yang bersyair pendek ini juga mempunyai nilai-nilai positif, misalnya tembang "Ojo Rame-Rame" yang memgajarkan nilai Patriotisme.

Masyarakat Osing juga mempunyai tradisi puputan, seperti halnya masyarakat Bali. Puputan adalah perang terakhir hingga darah penghabisan sebagai usaha terakhir mempertahankan diri terhadap serangan musuh yang lebih besar dan kuat. Tradisi ini pernah menyulut peperangan besar yang disebut Puputan Bayu pada tahun 1771.

Tradisi

1. BARONG IDER BUMI

Mungkin kita lebih mengenal Barong sebagai pertunjukan tari dari Bali. Dalam mitologi Bali, Barong adalah perlambang kebaikan, roh pelindung. Musuhnya ialah Rangda si tukang sihir jahat. Seni drama tari yang mengisahkan pertempuran Barong melawan Rangda, lazim disuguhkan sebagai atraksi wisata, dan sudah dikenal oleh banyak kalangan.

Berbeda lagi dengan di Banyuwangi, Jawa Timur. Ada Ritual Upacara adat yang bernama Barong Ider Bumi, yang dilangsungkan di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi. Barong Ider Bumi merupakan ritual upacara bersih desa di hari ke – 2 setelah lebaran yang dilakukan oleh masyarakat suku osing, suku asli Banyuwangi,di desa Kemiren.

Tradisi yang dilaksanakan setiap tanggal 2 Syawal serta dimulai pukul 14.00 WIB (jam 2 siang) ini, bukan tanpa alasan. Bagi masyarakat Osing Kemiren, angka 2 adalah simbol ciptaan Tuhan, dimana sesuatu di dunia ini diciptakan Tuhan secara berpasang- pasangan seperti siang dan malam, laki-laki dan perempuan dan seterusnya.

Masyarakat Osing pantang melakukan tradisi ini di luar waktu tersebut, karena dipercaya malah mendatangkan bencana atau musibah bagi masyarakat. Waktunya digeser saja bisa mendatangkan kematian pada keluarga yang melestarikan barong. Dan itu pernah terjadi.

Acara Barong Ider Bumi ini merupakan agenda tahunan yang rutin di gelar dengan swadaya masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Banyuwangi memasukkan atraksi budaya Barong Ider Bumi sebagai salah satu rangkaian agenda pariwisata Banyuwangi Festival.

2. TUMPENG SEWU

Tumpeng Sewu merupakan tradisi adat warga Osing, suku asli masyarakat Banyuwangi, yang digelar seminggu sebelum Idul Adha.

Tradisi ini akan diawali ritual Mepe Kasur. Beramai-ramai warga menjemur kasur di sepanjang depan rumah masing-masing dari pagi hari hingga menjelang sore. Kasur yang dijemur juga bukan sembarang kasur.

Namun kasur khas warga Kemiren, yang cirinya berwarna hitam dan merah. Masyarakat Osing ini meyakini dengan mengeluarkan kasur dari dalam rumah dapat membersihkan diri dari segala penyakit.

“Begitu matahari terbit, kasur akan segera dikelurakan dan di-pepe di depan rumah setiap orang, sambil membaca doa dan memercikkan air bunga di halaman. Penjemuran ini dari jam 07.00 hingga pukul 14.00, sebelum Ashar dimasukkan kembali.

“Tepat pukul 14.00, usai warga memasukkan kasurnya dan akan dilakukan arak-arakan Barong mengelilingi desa. Yang sebelumnya sesepuh desa melakukan ziarah ke makam leluhur Desa Kemiren, Buyut Cili,”.

Selanjutnya ritual ini akan diteruskan dengan menggelar selamatan tumpeng sewu. Setiap rumah warga Using mengeluarkan minimal satu tumpeng yang diletakkan di depan rumahnya. Tumpeng ini adalah nasi dalam bentuk kerucut dengan lauk pauk khas Using, yakni pecel pithik (ayam panggang dibalut parutan kelapa).

“Ritual ini akan dimulai sesudah adzan maghrib, . Sebelum makan tumpeng sewu warga akan di ajak berdoa agar warga Desa dijauhkan dari segala bencana, dan sumber penyakit, karena ritual tumpeng sewu diyakini merupakan selamatan tolak bala. Sebab itulah warga Osing menjaga tradisi itu hingga turun menurun.

Setelah itu akan dilanjutkan penyalaan oncor ajug-ajug (obor bambu berkaki empat) dari ujung jalan desa sebagai penerang jalan. Uniknya, api pertama penyalaan obor ritual ini diambil dari api biru (blue fire) Gunung Ijen.

Setelah obor dihidupkan, seluruh warga akan menggelar tumpengnya di depan rumah masing-masing, untuk dimakan bersama-sama.

Tumpeng yang disuguhkan setiap warga nantinya berbentuk kerucut yang memiliki makna petunjuk untuk mengabdi kepada Sang Pencipta, di samping kewajiban untuk menyayangi sesama manusia dan lingkungan alam.

Sementara pecel pithik sebagai lauk pelengkap mengandung pesan moral yang tinggi, yakni "ngucel-ucel barang sithik". Diartikan mengajak orang berhemat dan bersyukur dengan apa yang telah dimilikinya.

Ritual yang digelar setiap tahun ini selalu dihadiri ribuan warga Banyuwangi. Setiap pengunjung yang datang dipersilahkan untuk menikmati hidangan, karena sudah menjadi tradisi warga Using Kemiren untuk menjamu setiap tamu yang datang.

3. NGOPI SEPULUH EWU

Ribuan kopi akan dihidangkan setiap rumah di sepanjang jalan utama Desa , yang panjangnya mencapai 1,5 kilometer. Kopi dan jajanan khas akan disajikan di pelataran rumah bagi siapapun tamu yang hadir.

Wangi kopi pun akan mengular malam itu dari sepuluh ribu cangkir yang terhidang. Membuat hangat suasana desa yang terletak di kaki Gunung Ijen.

"Istilah Sak Corot Dadi Saduluran ini yang jadi inspirasi kami menggelar Festival Ngopi Sepuluh Ewu yang telah kita gelar rutin sejak empat tahun lalu. Minum kopi bersama ini menjadi sarana mempererat jalinan silaturahmi antar masyarakat Using yang sudah terkenal keramahan dan keluwesannya,"


Festival ngopi ini akan dikemas dengan cantik. Digelar malam hari, pelataran rumah warga akan disulap menjadi ruang tamu dadakan. Meja kursi tamu yang diusung keluar akan tersaji bubuk kopi dan jajanan khas Banyuwangi, seperti klemben (bolu khas Banyuwangi), pisang rebus, serabi, lanun, lopis, rengginang, aneka kripik hingga ketan.

Di festival ini, setiap orang bisa duduk di halaman rumah siapa saja. Sang empunya rumah akan menyambut dan mengajak tamu yang hadir untuk mencicipi kopinya.

Selain itu, di festival ini juga akan digelar berbagai aktivitas dalam bentuk pameran, mulai sesi cupping atau seni menghirup aroma, menyeruput, dan meneguk kopi.

"Selain bisa menikmati kopi yang terhidang di halaman rumah-rumah warga, para wisatawan juga bisa mengikuti pameran kopi lewat booth (tenda) yang disediakan panitia. Pameran kopi tersebut sudah dilangsungkan 2 hari sebelum pelaksanaan Festival Ngopi Sepuluh Ewu.

Note :

Jarang ditemukan karya sastra bahasa Osing dengan aksara Jawa, mengingat tulisan mantra-mantra dalam bahasa ini banyak dituliskan dalam Abjad Pegon, bukan aksara Jawa"

Read More

https://payclick.com/

Contact us for advertising.